MitraNews24.com – Pemerintah Belanda akan memulangkan 288 benda bersejarah yang dijarah dari wilayah Nusantara di masa kolonial. Sebagian benda-benda itu diyakini peninggalan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung. Ada usulan agar artefak-artefak itu disimpan di museum lokal di Kota Malang dan Bali. Bagaimana soal keamanan dan perawatannya?
Seorang arkeolog asal Kota Malang dan pemerhati budaya asal Bali meminta agar peninggalan itu nantinya dipulangkan ke tempat asalnya dan tidak disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Benda-benda itu disebut punya arti besar bagi daerah mereka yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk menjadi negara, kata mereka.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid, mengatakan pengembalian 288 benda bersejarah itu adalah bagian agenda repatriasi yang telah disetujui melalui kesepakatan pemerintah Indonesia dan Belanda pada 2017.
Baca Juga : IJN Rumah Sakit Jantung Malaysia Siap Beri Pelayanan Terbaik Buat Warga Riau
Nantinya seluruh koleksi itu akan dikelola oleh Indonesia Heritage Agency dan dipamerkan kepada publik di Museum Nasional Indonesia pada 15 Oktober 2024.
Benda bersejarah apa saja yang dipulangkan?
Sebanyak 288 benda yang dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda itu akan dikembalikan ke Indonesia.
Pemulangan tersebut merupakan lanjutan dari repatriasi pada 2023 yang menghasilkan kesepakatan pengembalian 472 benda cagar budaya asal Nusantara.
Baca Juga : Tuguh Monumen Perang Dunia II di Duri Jadi Sejarah yang Terlupa
Di tahun ini, barang bersejarah yang direpatriasi terdiri dari arca Ganesha, arca Brahma, arca Nandi, dan arca Bhairawa.
Arca-arca tersebut merupakan bagian dari Candi Singasari di Jawa Timur yang dibangun antara abad ke-13 dan abad ke-14.
Arkeolog yang juga pemerhati sejarah kota Malang, Dwi Cahyono, menyebut semua koleksi itu bisa dibilang “masterpiece” di era Singasari.
Pasalnya benda tersebut adalah produk budaya yang sangat artistik lantaran dipengaruhi oleh kesenian Pāla dari India.
“Pada masa itu ada satu pengaruh kesenian India masuk ke Indonesia, gaya seni yang unggul di India itu disebut Pāla dan menjadi pusat peradaban India,” jelas Dwi Cahyono kepada BBC News Indonesia.
“Nah kesenian itu berpengaruh hingga ke dinasti Sailendra di abad sembilan atau sembilan, setelah itu menghilang dan muncul lagi di era Singasari.”
Karya-karya “masterpiece” itu, sebutnya, nampak dalam bentuk arca dan jumlahnya pun tak banyak—mengingat umur Kerajaan Singasari tak panjang hanya 70 tahun.
Dari benda-benda bersejarah tersebut tergambar kehidupan pada masa itu, ujarnya.
Mulai dari bagaimana para bangsawan berpakaian, senjata yang digunakan, hingga ragam budaya yang terjadi pada waktu lampau.
“Misalnya arca Ganesha itu banyak mendapatkan pengaruh tantrayana, menampilkan figur simbolik berbentuk tengkorak atau kapala. Ini kan menarik.”
Sebagai gambaran arca Nandi berbentuk lembu jantan dalam posisi duduk di atas kelopak bunga teratai yang menjadi kepercayaan dari Dewa Siwa.
Nandi berhias kalung mutiara, untaian bunga, dan kalung dengan loncengnya dengan pelana bermotif daun di atas punggungnya. Nandi juga dikenal sebagai pelindung dari semua binatang berkaki empat.
Sedangkan arca Bhairawa adalah patung batu raksasa dalam bentuk dewa Siwa -dewa dalam agama Hindu yang dipandang sebagai dewa perusak alam semesta.
Bhairawa digambarkan berdiri di atas sekumpulan tengkorak manusia dengan mulut terbuka yang menampakkan gigi serta taring.
Selain menjadi simbol kehancuran, Siwa juga adalah simbol pembebasan spiritual bagi umat Hindu.
Dwi Cahyono memperkirakan benda-benda bersejarah milik Kerajaan Singasari ini dijarah pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1800-an.
Di masa itu, katanya, ada semacam tren para pejabatnya membawa pulang barang yang dianggap sebagai ‘memori’ di tanah jajahannya.
“Jadi kayak souvenir,” ungkap Dwi.
“Kemudian pada masa itu bermunculan museum-museum yang koleksinya sebagian dari negeri jajajan. Ada juga yang menjadi koleksi pribadi di rumah dan diperdagangkan secara gelap.”
“Itu kenapa banyak kekayaan budaya Indonesia yang beragam bentuknya dan jenisnya melanglang buana ke berbagai negara.”
Kini, ketika beberapa koleksi Kerajaan Singasari hendak dipulangkan, Dwi Cahyono meminta pemerintah untuk memastikan betul-betul keaslian benda-benda tersebut.
Sebab tak menutup kemungkinan ada duplikatnya.
Baca Juga : Kesultanan Riau Lingga yang Jadikan Melayu Jadi Bahasa Resmi Indonesia
“Zaman sekarang, ada saja ‘tembakannya’ atau duplikatnya. Makanya di kalangan perdagangan barang antik, harus betul-betul asli.”
“Jangan sampai… moga-moga ya yang dikembalikan memang orisinal.”
Selain arca dari Kerajaan Singasari, ada 284 benda lainnya dari Kerajaan Badung, Bali, yang juga akan dipulangkan.
Ratusan barang itu merupakan rampasan dari korban perang Puputan Badung pada 1906 yang berupa koin emas, berbagai macam perhiasan, keris, hingga daun pintu gerbang Puri Tabanan.
Peneliti manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, bercerita perang Puputan Badung berawal dari adanya seorang pedagang dari China yang mengaku kapal dagangnya berbendera Belanda dijarah.
Sang pedagang itu kemudian menghadap Raja Badung untuk meminta ganti rugi.
Raja Badung disebut tak terima rakyatnya dituduh mencuri sehingga enggan memberi ganti rugi. Permasalahan kemudian menjadi rumit hingga terdengar oleh pemerintah kolonial Belanda.
“Jadi alasan mencuri itu hanya alibi saja untuk menyerang,” ujar Sugi Lanus
“Meskipun Raja Badung sudah menyiapkan uangnya, tapi dia bilang ambil ketika saya mati.”
“Setelah itu Raja beserta anak-anaknya ikut ke medan perang sambil melemparkan emas dan memakai pakaian terbaiknya.”
Sugi Lanus menuturkan ada kepercayaan di kalangan Ksatria bahwa mati di medan perang adalah surga. Itu mengapa, katanya, perang Puputan Badung merupakan perang ideologis dan teologis.
Sebab sebelum berperang, mereka akan bersembahyang. Kemudian mengenakan pakaian terbaiknya termasuk perhiasan.
Jika ada prajurit yang masih hidup dalam peperangan itu, mereka akan melakukan apa yang disebut sebagai hara-kiri.
“Jadi mereka berbekal kemegahan dalam kematian,” papar Sugi Lanus.
Karena itulah bagi masyarakat Bali, ratusan koleksi yang dirampas Belanda bukan emas atau perhiasan biasa, tetapi pusaka kerajaan.
Benda bersejarah itu mesti dipulangkan ke tempat asal
Dwi Cahyono maupun Sugi Lanus meminta agar benda-benda peninggalan itu nantinya dipulangkan ke tempat asalnya dan tidak ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta.
Karena bagaimana pun koleksi-koleksi itu punya arti besar bagi daerah mereka yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk menjadi negara.
“Repatriasai itu pulang ke tempat asal, yang artinya daerah asal, bukan negara asal. Itu perlu dipikirkan, karena itu sejarah daerah dan daerah juga butuh jejak-jejak sejarahnya,” jelas Dwi Cahyono.
Di Malang, kata Dwi Cahyono, ada Museum Singhasari yang menyimpan peninggalan Kerajaan Singasari. Akan tetapi diakuinya kondisinya tidak terawat dengan baik.
Dengan kepulangan empat arca tersebut, menurutnya, bisa jadi momentum untuk merevitalisasi bangunan museum itu.
Namun demikian, dia juga memahami keamanan museum sangat kurang.
Karenanya Dwi Cahyono mengusulkan, sembari mendiskusikan proses pengembalian arca-arca itu ke Malang, pemda dan pemerintah pusat mau membenahi bangunan museum beserta keamanannya.
“Masyarakat di daerah itu berharap benda aslinya kembali, kalaupun ada di museum nasional duplikatnya saja, jangan terbalik. Masyarakat di Malang kan ingin lihat juga arca Bhairawa itu seperti apa?”
“Jadi kalau tetap di museum nasional, ya kami tetap gigit jari.”
“Tapi itu semua tergantung kesiapan dan keamanan. Tidak asal-asalan. Jangan sampai di Malang malah hilang.”
Dwi Cahyono juga mengusulkan, agar kepulangan arca-arca itu dibarengi dengan menggelar pameran keliling di Malang, bukan hanya di Museum Nasional, Jakarta.
Sebab artefak tersebut adalah kebangaan daerah dan bisa disebut sebagai jati diri orang Malang.
“Bahkan itu benda keramat,” lanjutnya.
Sugi Lanus juga sependapat.
Ia merekomendasikan supaya benda pusaka dari Puputan Badung itu dikembalikan ke Bali. Entah dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun mendatang.
Yang pasti, pemulangan tersebut harus mulai dipikirkan.
“Sekarang disimpan di Jakarta, tapi tim untuk pengembalian ke Bali penting, karena benda-benda itu menjadi pembelajaran besar bagi masyarakat Bali,” jelas Sugi Lanus.
“Bahwa harga diri orang Bali tidak bisa terbayarkan dengan nyawa.”
Tim yang dimaksudnya itu, sambung Sugi Lanus, nantinya bakal memutuskan apakah benda-benda bersejarah tersebut dikembalikan ke keluarga kerajaan atau disimpan di Museum Bali.
Kalau dikembalikan ke keluarga kerajaan, ia khawatir tak aman.
Sementara jika diserahkan ke Museum Bali juga tak ada jaminan soal keamanan.
Dengan kondisi begini, dia berharap pemda Bali mulai memikirkan untuk merestorasi beberapa ruangan di museum sebagai tempat penyimpanan khusus.
“Kebetulan pula lokasi keraton Kerajaan Badung itu sekarang menjadi museum Bali.”
Sugi juga menyebut pulangnya koleksi berharga ini sekaligus menjadi pengingat soal sejarah Bali.
Pasalnya, kata dia, ketika Belanda menjajah wilayah ini selama 39 tahun dan meruntuhkan keraton Kerajaan Badung sama saja menghapus jejak serta identitas masyarakat setempat.
“Yang jelas kami membutuhkan benda-benda itu dibuatkan museum untuk belajar tentang harga diri sebagai manusia Bali.”
Apa tanggapan pemerintah?
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, mengatakan repatriasi 288 benda cagar budaya asal Indonesia itu diperkirakan tiba pada awal Oktober 2024.
Kesepakatan pengembalian ratusan koleksi itu diawali kerja sama intensif antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda, ungkapnya
Dua negara itu disebutnya juga sudah menggelar studi provenans (meneliti sumber atau asal-usul kepemilikan temuan arkeologi) yang mendalam untuk memastikan keaslian dan asal-usul setiap benda.
Hilmar menekankan pentingnya upaya tersebut dalam pemulihan dan pelestarian identitas nasional.
“Pengembalian ini adalah bagian dari agenda repatriasi yang telah disetujui melalui nota kesepahaman atau (MoU) yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 2017,” ucapnya dalam keterangan resmi seperti dilansir Antara.
Ia melanjutkan, proses tersebut diawali dengan penandatanganan kesepakatan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Egbert Willem Bruins di Wereldmuseum, Amsterdam, yang juga dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Belanda, Mayerfas.
Kemendikbudristek telah menyusun serangkaian program khusus sebagai komitmen repatriasi, mencakup konservasi dan penelitian berkelanjutan yang akan dilakukan oleh para ahli.
“Kami akan menyiapkan program pendidikan dan kegiatan interaktif yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang nilai historis dan kebudayaan dari artefak-artefak tersebut,” ucap Hilmar.
Artefak yang direpatriasi meliputi berbagai benda dari koleksi perang Puputan Badung yang diambil selama intervensi Belanda di Bali pada tahun 1906, dan arca-arca bersejarah dari Candi Singhasari di Jawa Timur.
Koleksi tersebut mencakup satu arca Ganesha, arca Brahma, arca Bhairawa, dan arca Nandi yang sebelumnya sudah dipulangkan pada repatriasi tahun 2023.
Ia menjelaskan, seluruh koleksi yang berhasil direpatriasi akan dikelola oleh Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency.
Benda-benda bersejarah itu juga akan dipamerkan dalam rangka pameran kembali Museum Nasional Indonesia yang akan dibuka untuk umum pada tanggal 15 Oktober.
Pameran ini disebut Hilmar tak hanya menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk melihat langsung artefak-artefak bersejarah itu.
“Tetapi,” demikian Hilmar,” juga menjadi ajang pembelajaran dan apresiasi terhadap perjuangan dan kerja keras Indonesia dalam memulihkan warisan budayanya.”
Dia menambahkan penelitian asal-usulnya dapat meningkatkan wawasan mendalam tentang sejarah dan peran benda-benda itu dalam konteks peradaban Nusantara.
“Sehingga memungkinkan generasi saat ini dan yang akan datang untuk menghargai lebih dalam warisan budaya yang kita miliki,” paparnya.
Dia lalu berharap repatriasi itu dapat memperkuat identitas budaya nasional, sekaligus simbol hubungan diplomatik yang semakin erat antara Indonesia dan Belanda.