Bongku Suku Sakai di Bengkalis Dipenjara Karena Menanam Ubi di Tanah Ulayatnya

334
Pak Bongku, petani suku Sakai. | Kompas.com
PEKANBARU, MitraNews.co – Inilah kisah Pak Bongku, seorang petani yang dipenjara dan didenda ratusan juta karena tanam ubi di tanah ulayat yang berada di lahan perusahaan.
Pak Bongku adalah seorang petani berusia 58 tahun, warga Suku Sakai di Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Pinggir, kabupaten Bengkalis Riau.
Gara-gara menanam ubi di tanah ulayat yang berada di areal perusahaan, Pak Bongku berurusan dengan hukum hingga berujung penjara.
Penasehat Hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Rian Sibarani mengatakan, Pak Bongku disidang di Pengadilan Bengkalis 24 Februari 2020 lalu.
“Hakim saat itu menyatakan Pak Bongku bersalah dan menjatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 200 juta” kata Rian dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (25/5/2020).
Dia menyebutkan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Pak Bongku melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang berbunyi:
“Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun penjara serta pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp2,5 miliar.
Namun, menurut Rian, selama dalam perjalanan sidang, tidak satu pun pasal dalam dakwaan Jaksa dapat dibuktikan.
Fakta di persidangan mengungkapkan bahwa Pak Bongku adalah masyarakat adat Sakai yang tinggal tidak begitu jauh dari lokasi penebangan.
Alasan Membela Pak Bongku
Ahli masyarakat adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dalam persidangan menjelaskan bahwa masyarakat adat Sakai sudah hidup lama sebelum Indonesia ada dan tercatat dalam dokumen LAM.
Atas hal itu lah, LBH Pekanbaru berjuang untuk membela Pak Bongku, karena hukum dinilai tidak memihak petani tersebut.
Rian menjelaskan, kasus ini bermula saat Pak Bongku membuka lahan setengah hektar untuk ditanami ubi kayu dan ubi menggalo (ubi racun).
Pak Bongku menggarap lahan yang merupakan tanah ulayat yang saat ini diperjuangkan dan berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT Arara Abadi II, grup PT Sinar Mas di Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Kemudian, pada Minggu 3 November 2019 silam, Pak Bongku ditangkap oleh security PT Arara Abadi dan selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Pinggir, Bengkalis.
“PT Arara Abadi mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah miliknya. Sementara  Pak Bongku juga berhak atas penggunaan tanah tersebut, karena itu tanah leluhur. Tanah yang digarap Pak Bongku tidak luas,  cuma setengah hektar untuk dimanfaatkan  menanam Ubi,” sebut Rian.
Kata dia, ubi kayu dan ubi racun yang diolah merupakan makanan pokok bagi mereka. Sama halnya seperti orang Papua makanan pokoknya yakni sagu.
Menurut Rian, Pak Bongku hanyalah masyarakat awam, yang kurang mengerti hukum karena kurang mengenyam pendidikan. Begitupun juga dengan suku-suku Sakai yang ada di Dusun Suluk Bongkal, yang nasibnya kurang beruntung, karena kurangnya pendidikan dan literasi.
“Kasus Pak Bongku ini adalah contoh kecil dari realita yang ada. Entah mengapa pemerintah terus diam dengan kasus ini,” kata Rian.
“Pak Bongku bukanlah orang kaya, bukanlah orang yang kenyang pendidikan. Beliau hanyalah masyarakat miskin, tak punya tanah yang luas untuk ditanami sawit yang bisa menghasilkan uang. Pak Bongku hanyalah masyarakat asli suku Sakai di sana yang seharusnya dilindungi keberadaannya, tapi  malah justru dirampas haknya,” lanjut Rian.
Pernyataan Sinar Mas
Humas PT Sinar Mas Nurul Huda menjelaskan, awal dan penyebab sengketa terjadi sejak tahun 2001 silam.
Kala itu, masyarakat Adat Suku Sakai mengklaim bahwa lebih kurang 7.158 hektar lahan yang mencakup area HTI PT Arara Abadi seluas 327,2 hektar, adalah lahan ulayat dua pebatinan, yaitu Batin Beringin dan Batin Penaso.
Menanggapi klaim tersebut, PT Arara Abadi sepakat untuk melakukan pengecekan lapangan bersama perwakilan masyarakat.
“Dari proses ini, diketahui bahwa lahan tersebut sebelumnya tidak pernah dikuasai oleh masyarakat Suku Sakai, yang ketika itu hanya menempati Desa Penaso, Sialang Rimbun, dan Muara Basung,” kata Nurul dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin.
Bahkan, sambung dia, lahan yang diklaim dan ditunjuk oleh masyarakat Suku Sakai yang dimaksud ternyata sebagian besar sudah dikuasai oleh pihak ketiga.
Meski demikian, antara tahun 2001 hingga 2019, sejumlah oknum masyarakat Suku Sakai terus berupaya menduduki lahan tersebut dan menghentikan kegiatan operasional perusahaan.
Nurul melanjutkan, penyelesaian dan hasilnya dalam kegiatan operasionalnya, PT Arara Abadi selalu berpegang pada batas konsesi sesuai izin yang diberikan oleh pemerintah serta hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
“Sejak tahun 2013, PT Arara Abadi juga sudah melakukan pemetaan konflik yang ada di wilayah konsesinya. Termasuk di dalamnya konflik dengan masyarakat Sakai,” ucap Nurul.
Pemberdayaan warga suku Sakai
Kata dia, perusahaan juga berupaya untuk tetap mendukung pemberdayaan masyarakat Sakai.
Hal ini dilakukan dengan, antara lain, menjalankan kemitraan pengelolaan tanaman kehidupan di sebagian area SK Menhut atas nama PT Arara Abadi, mempekerjakan masyarakat sebagai tim pencegah kebakaran, serta menjalankan sejumlah program CSR.
Perusahaan juga mengupayakan mediasi, termasuk dengan melibatkan Camat Pinggir dan DPRD Kabupaten Bengkalis pada tahun 2012 dan 2015, hingga mencapai berbagai MoU, Berita Acara dan kesepakatan.
MoU berita acara dan berbagai kesepakatan yang telah tercapai tersebut, adalah bukti adanya kesepakatan penyelesaian sengketa yang terjadi ketika itu.
Pada tahun 2016, PT Arara Abadi pun telah melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memfasilitasi mediasi dengan masyarakat Sakai.
Sebagai hasilnya, kedua belah pihak menyepakati untuk menyerahkan mekanisme penanganan konflik pada KLHK dan membentuk tim negosiasi.
‘Hingga hari ini, PT Arara Abadi tetap berpegang teguh pada kesepakatan yang difasilitasi oleh KLHK,” terang Nurul.
Lantas mengapa sengketa masih berlanjut?
Pihak perusahaan, kata Nurul, menyayangkan bahwa sejak tercapainya kesepakatan ini, sejumlah oknum dari masyarakat Sakai telah berulang kali menduduki kembali lahan perusahaan serta menghalangi kegiatan operasional perusahaan.
Insiden terbaru, yakni penebangan tanaman ekaliptus di wilayah konsesi oleh salah satu anggota masyarakat Sakai, Pak Bongku pada November 2019 lalu.
“Sebelumnya, Saudar Bongku juga pernah terlibat dalam aksi pendudukan lahan bersama STR (Serikat Tani Riau) pada tahun 2008 beserta sejumlah oknum lainnya, dan telah diputuskan bersalah dalam proses hukum yang berlangsung,” sebut Nurul.
Dia menegaskan, perusahaan dengan transparan telah mengikuti seluruh proses hukum yang tengah berjalan terhadap Pak Bongku, serta mendukung pihak berwenang dengan menyampaikan fakta-fakta yang dibutuhkan.
Dalam mencapai resolusi, PT Arara Abadi tetap berkomitmen untuk mematuhi hukum negara Republik Indonesia, serta prinsip-prinsip internasional yang berlaku terkait penghormatan hak-hak masyarakat lokal.(fbh)