MitraNews24.com, Medan – Kesultanan Riau Lingga merupakan kerajaan Islam yang terletak di Kepulauan Riau Lingga, Kabupaten Lingga, Riau. Kesultanan ini merupakan pecahan dari Kesultanan Johor dan dibentuk berdasarkan perjanjian Traktat London antara Britania Raya dan Belanda pada tahun 1824.
Dikutip dari buku Cerita Kerajaan Nusantara Populer mengatakan, Kesultanan Riau Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka kemudian Kesultanan Johor Riau.
Yuk simak lebih dalam lagi mengenai Kesultanan Lingga. Berikut ulasannya!
Sejarah Berdiri Kesultanan Riau Lingga
Kesultanan Riau-Lingga adalah penerus dari Kemaharajaan Melayu Semenanjung Malaya. Kerajaan ini merupakan penerus dari Kesultanan Johor yang pernah berdiri di tempat itu.
Kesultanan Johor-Riau-Lingga-Pahang atau kemaharajaan melayu yang ke-10 saat itu dipimpin oleh sultan Mahmud Syah II (1685 – 1699). Sayangnya sultan ini tidak memiliki keturunan untuk penerusnya maka dicarilah dari keturunan Datuk Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil yang diberi gelar Sultan Mahmud Syah III.
Hal ini menimbulkan keributan dan perselisihan dalam menentukan siapa yang akan meneruskan tahta Sultan Mahmud. Dalam perselisihan itu Britania Raya mendukung putra tertua Husaain. Sedangkan Belanda pada saat itu mendukung adik tirinya yakni Abdul Rahman.
Setelah itu Traktat London membagi dua Kesultanan Johor yaitu Johor yang berada di bawah pengaruh Inggris sementara Riau Lingga di bawah pengaruh Belanda saat itu.
Lalu pada akhirnya diangkatlah Abdul Rahman sebagai raja Kesultanan Riau Lingga. Ia diberi gelar Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah.
Setelah itu, Kesultanan Riau Lingga memiliki peran sangat penting terhadap perkembangan bahasa melayu sampai sekarang menjadi bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Melayu ini juga berkat usaha seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis yakni Raja Ali Haji.
Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan dalam kesultanan Lingga dibagi menjadi dua yakni yang dipertuan muda dan ulama. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda.
Sultan yang dipertuan muda memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap memerintah militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Sedangkan para ulama berperan sebagai penasihat yang dipertuan muda dalam bidang ilmiah.
Pusat pemerintahan kesultanan Riau Lingga berada di pulau Lingga. Alasan pulau Lingga dipilih sebagai pusat pemerintahan dikarenakan lokasinya sangat strategis terutama dalam bidang pertahanan.
Kebudayaan
Kesultanan Riau Lingga sedari dulu telah mengembangkan tradisi kesusastraan dan keagamaan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Mereka telah membuat kamus bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa standar.
Saat tahun 1850 Kesultanan Riau membangun sebuah percetakan surat kabar dengan tulisan abjad latin dan abjad jawa. Selain itu Kesultanan Riau Lingga juga membentuk perkumpulan para cendikiawan untuk menerjemahkan buku bahasa asing dan menulis berbagai karya ilmiah.
Pada saat masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah kerajaan ini menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa yang resmi digunakan. Hal ini juga ditetapkan dalam kongres pemuda Indonesia pada tahun 1928 dengan sebutan baru yaitu bahasa Indonesia.
Keagamaan
Kerajaan Riau Lingga merupakan salah satu pusat kegiatan belajar bagi umat Islam di kawasan Melayu. Terdapat banyak para ulama yang berdatangan ke Riau Lingga untuk mengajarkan ilmu keislaman.
Berangkat dari situ di kesultanan ini juga banyak yang mulai menganut paham tasawuf. Sedangkan tarekat yang berkembang pesat masa itu adalah tarekat Naqsyabandiyah.
Pemikiran dari Abu Hamid Al-Ghazali sangat mempengaruhi kesultanan lingga dengan paham fiqih dan tasawuf. Pemikiran itu diajarkan oleh Raja Ali Haji yang berguru dari para ulama di Madinah dan Makkah.