Mengenal Kampung Vietnam, Bukti Humanisme Indonesia Kepada Pencari Suaka di Batam

774
Pintu gerbang masuk menuju Kampung Vietnam di Pulau Galang, Batam. / (Vietnamese Boat People)

BATAM, MitraNews.co –  Batam tak hanya menjadi kota yang gemerlap saat malam. Kota di perbatasan RI ini juga memiliki destinasi wisata sejarah yang terkenal, yakni Kampung Vietnam.

Kampung Vietnam terletak di Pulau Galang, dengan jarak sekitar 50 km dari Kota Batam dengan perjalanan sekitar 1,5 jam. Kampung Vietnam merupakan kamp pengungsian warga Vietnam pada saat Perang saudara di Vietnam berlangsung.

Melihat tempat ini memang cocok untuk tempat wisata sejarah di Batam. Di pulau galang ini banyak terlihat bangunan bekas peninggalan bersejarah milik rakyat Vietnam yang dulunya dibangun oleh pemerintah Indonesia. Semua bangunan tersebut menjadi saksi bisu tentang kehidupan para pengungsi di masa lalu.

Di Kampung Vietnam juga ada gereja tua, vihara, barak pengungsian, penjara hingga patung Buddha tidur. Beberapa bangunan memang banyak yang telah menjadi puing-puing, seperti rumah sakit, camp dan penjara.

Gereja di Kampung Vietnam (Foto: Ahmad Masaul Khoiri/detikcom)

Kisah pengungsi Vietnam itu tak sepenuhnya bahagia. Di sana terdapat ada juga tempat penggemblengan para pemuda dan banyak kasus kriminal sesama pengungsi, seperti terjadi pembunuhan dan pemerkosaan kerap terjadi.

Hingga saat ini, Indonesia bukan termasuk negara tujuan para pengungsi untuk hidup menetap dan bekerja. Para pengungsi tidak boleh bekerja di Indonesia. Sebab Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi pada 31 Januari 1967. dikutip dari Detikcom

Namun secara historis Indonesia pernah memiliki pengalaman dalam penanganan pengungsi dari Vietnam atau yang kerap dijuluki sebagai manusia perahu (Vietnamese Boat People) antara tahun 1979 sampai 1996. Ketika itu, Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Soeharto. Atas dasar yuridis nasional pelaksanaan bantuan bukan hanya pada Keputusan Presiden semata, namun tetap merujuk pada ketentuan internasional

Dalam buku Troubled Transit: Politik Indonesia Bagi Para Pencari Suaka karya Antje Missbach, dijelaskan bahwa manusia perahu Vietnam datang ke Indonesia akibat situasi politik di Vietnam kala itu. Usai kemenangan Komunis dan kejatuhan Saigon April 1975, puluhan ribu orang Vietnam keluar dari negaranya untuk mencari suaka.

Pasalnya, mereka takut jika diperlakukan buruk oleh kepemimpinan yang baru. Mereka kabur dengan menggunakan perahu untuk pergi ke berbagai negara. Oleh karena itu, mereka kerap dijuluki manusia perahu.

Berdasarkan laporan pertama, 19 Mei 1975, sekitar 97 orang manusia perahu Vietnam tiba di Indonesia. Sedangkan menurut laporan PBB tahun 1979, ada 43.000 manusia perahu sudah masuk Indonesia. Mekanisme penyaringan pencari suaka kala itu belum ada. Tetapi secara otomatis, status para manusia perahu masuk sebagai pengungsi prima facie (pertama kali) dan beberapa bentuk perlindungan.

Lantas, pemerintah Indonesia memilih Pulau Galang di Riau sebagai tempat untuk 10.000 pengungsi manusia perahu. Pulau Galang dipilih lantaran lokasinya relatif strategis. Jaraknya hanya 7 km dari Pulau Batam. Luasnya sekitar 80 km persegi. Penempatan para manusia perahu di Pulau Galang ini juga dimaksudkan untuk memisahkan mereka dari penduduk lokal dan meminimalisir pembaruan aktif.

Perahu pengungsi Vietnam.(jokka2traveller.com)

Padahal awalnya Pulau Galang tak diniatkan sebagai permukiman permanen para manusia perahu. Namun pemerintah Indonesia terpaksa melakukannya karena alasan kemanusiaan. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tetap berusaha memanusiakan para manusia perahu. Mereka diberi pendidikan dan kursus bahasa Indonesia. Lalu, pada Mei 1979, diselenggarakan Pertemuan para Menlu seluruh ASEAN. Dari kesepakatan itu, semua biaya akomodasi pengungsi di Indonesia menjadi tanggunan UNHCR.

Maka setelahnya, dibangunlah kamp-kamp pengungsian di Pulau Galang. Hingga beberapa tahun setelahnya, jumlah manusia perahu di Pulau Galang terus bertambah. Apalagi, kala itu manusia perahu yang ke Malaysia ditolak karena kebijakan pengalihan jurusan, sehingga jumlah manusia perahu di Pulau Galang meningkat hingga 16.500. Manusia perahu di Pulau Galang pun hidup hampir dua dekade.

Namun, pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia ingin mengosongkan Pulau Galang, karena ingin membangun kawasan itu untuk industri khusus. TNI pun membantu sekitar 8.500 manusia perahu untuk pulang ke negara asalnya, melalui jalur laut dan udara. Sisanya, pergi mencari suaka ke negara lain.

Berpuluh tahun ditinggalkan, kini kamp-kamp untuk manusia perahu sudah rusak. Namun, tempat ibadah Buddha peninggalan mereka masih bisa ditemukan jejaknya. Pulau Galang dianggap sebagai salah satu bukti catatan humanisme pemerintah Indonesia era Soeharto.

Satu yang penulis rasakan saat mengunjunginya di waktu Magrib adalah nuansa mistis yang amat kental. (cerita berlanjut)… (oz)